klik di sini untuk details tentang buku..
baca secara online di sini
Saudara-saudaraku yang dicintai Allah, izinkan aku menceritakan sekelumit kisahku hingga saat ini masih istiqamah mengenakan jilbab dan insyaAllah untuk selamanya.
Awalnya, aku tergerak untuk menulis kisah ini karena komentar dari seseorang di sebuah artikel di blogku. Artikel tersebut berjudul "Pertanyaan Seputar Jilbab", hasil repost dari temanku. Ia tidak menyertakan namanya, alias anonim.
Ia berkata, “Assalamualaikum. Thank’s banget buat short story nya.. Saya sie skrg masih belum pake jilbab, kalo niat sie ada,, tapi masih ragu2,, soalnya takut behaviour nya kayak belum pake jilbab,,kan malah malu2in. Tapi InsyaAllah dalam waktu dekat ini pengen banget mulai pake,,lagi memantapkan hati. ^^ Boleh share ga, kapan pertama kali mbak pake jilbab dan apa yang memotivasi mbak?“
Sebuah senyum yang merepresentasikan berbagai perasaan seketika terbit dari bibirku. Aku pun menerawang, mencoba mengingat langkah demi langkahku untuk memenuhi perintah-Nya, yaitu berjilbab. Kuketikkan kata demi kata untuk membalas pertanyaan anak itu, sembari melihat ‘film hitam putih’ yang berkelebat cepat di pikiranku, yaitu saat-saat sebelum berjilbab, perjuangan berjilbab, dan setelahnya.
Kamis, 9 Oktober 2008.
Saat itu, aku masih duduk di kelas 2 SMA. Aku merasa seperti terlahir kembali. Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah setelah Idul Fitri. Campur aduk. Begitulah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku. Malu? ya. Sedih? ya. Gembira? Pasti. Takut? juga. Perasaan yang aneh, batinku.
Tanya kenapa? Hari itu adalah hari bersejarah dalam hidupku. Seragam batik dibalut jilbab instan berwarna putih yang terulur sampai ke dada kukenakan ke sekolah untuk pertama kalinya.
Papaku belum mengizinkanku berjilbab sampai hari bersejarah itu. Mamaku pun, karena mengikuti kata Papa, juga belum menyetujui keputusanku untuk berjilbab. Namun, karena dorongan yang menggebu tiada tara dari dalam hati, akhirnya aku mantap ‘melawan’ kedua orangtuaku. Aku pun pergi ke sekolah dengan mobil antarjemput. Mengenakan seragam batik baru, berlengan panjang yang kebesaran, dengan perasaan yang tidak tenang.
Takut bila ada yang mencemooh. Perang batin antara setan dan malaikat di dalam hatiku, kira-kira seperti ini: "Duh, jelek banget sih wajahmu kalo pake jilbab!". Di sisi lain seperti ada yang berkata, “Sudahlah, jangan dengarkan apa kata setan. Ini kan perintah Tuhanmu.” Begitulah kira-kira kondisi batiniahku saat itu. Mobil antarjemput itu terus melaju ke sekolah. Berulangkali aku panjatkan doa semoga ‘tidak terjadi apa-apa’ nanti di sekolah.
Akhirnya tibalah momen yang paling mendebarkan dalam hidup. Kulangkahkan kakiku ke kelas, lalu duduk di bangku paling depan tanpa memandang siapapun. Kukeluarkan novel Ketika Cinta Bertasbih yang belum tamat kubaca. Kunikmati novel itu dengan tenangnya. Sekali lagi, tanpa menghiraukan siapapun.
Hari itu masih pagi dan belum banyak siswa kelasku yang datang. Tiba-tiba ada yang datang ke arah bangkuku dan memberi ucapan selamat kepadaku karena telah berjilbab. Aku pun hanya membalas dengan senyum. Tiba-tiba ada yang datang lagi, ia pangling (tidak menyangka kalau itu adalah aku). Teman-teman lainnya juga merespon positif. Ada beberapa celotehan yang berkata, “Kamu tambah cantik, lho.” Ah, memerah pipiku dibuatnya. Namun, hanya karena satu hal, belum direstui orangtua, tetap saja hati ini tak tenang.
Ternyata, ada halalbihalal sebelum pelajaran dimulai. Seluruh siswa, guru, dan karyawan segera berhamburan ke lapangan. Selain halalbihalal, ada juga pengumuman, namanya Gema Almamater, yaitu pengumuman dan penyerahan penghargaan untuk yang berprestasi. Kebetulan, ekstrakurikuler yang kuikuti yaitu paduan suara, mendapatkan juara 2 pada sebuah lomba paduan suara tingkat nasional. Namun, aku tidak ikut serta dalam tim lomba tersebut karena tidak terpilih audisi.
Setelah teman-teman paduan suara dipanggil, dikalungi medali, disoraki orang-orang seantero sekolah, semua siswa kembali ke kelas masing-masing. Otomatis, dalam perjalanan ke kelas pun aku bertemu dengan banyak teman dari kelas lain. Mereka kaget, mengucapkan selamat, dan memuji. Alhamdulillah tak henti-hentinya kuucapkan dalam hati.
Kulihat diriku dari atas sampai bawah. Aku masih belum percaya diri. Saat itu aku mengenakan seragam batik berlengan panjang, rok abu-abu panjang, dan jilbab praktis yang menurutku terlalu mencekik leher. Selama berjalan, aku terus menarik lengan seragamku karena belum pede. Bajuku benar-benar kedodoran. Namun, dukungan teman-teman dapat mengalihkan pikiranku dari kedodorannya bajuku tersebut.
Sebenarnya, saat duduk di Sekolah Dasar (SD), aku tidak tahu apa itu jilbab. Di SDku, yang berjilbab hanya beberapa guru. Tidak ada siswi yang berjilbab pada saat itu. Aku pun terlahir dari keluarga yang tidak terlalu religius. Pantaslah bila aku tidak mengerti kewajiban berjilbab. Seiring waktu berjalan, duduklah aku di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Salah seorang teman bermainku berjilbab sejak SD. Maklum, dia dari Taman Kanak-Kanak (TK) dan SD berbasis Islam. Bolehlah dia memakai jilbab sejak kecil. Aku kagum padanya, di usia yang baru menginjak 13 tahun, ia sudah tahan panas. Setiap hari ke sekolah mengenakan seragam panjang dan jilbab. Hehehe. Kekagumanku terhadapnya, sedikit mengusik pikiranku untuk ingin mengenakan jilbab. “Ah, tapi nanti sajalah, kalau sudah kerja, kalau aku sudah jadi ibu nanti,” pikirku.
Sampailah aku di kelas 3 SMP. Saat pelajaran agama di kelas 3, guru agamaku menjelaskan perintah tentang berjilbab. Setiap siswi beliau suruh mengenakan kerudung saat pelajaran agama berlangsung. Otomatis, setiap hari Jumat saat itu, aku selalu mengenakan kerudung, selama dua jam saja tentunya.
Hari berganti hari, aku menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas 1. Kali ini aku mendapatkan guru agama yang tak kalah luar biasa. Beliau juga mewajibkan setiap siswi mengenakan jilbab saat pelajaran agama. Aku pun mengenakan kerudung dibalut jaket untuk menutupi lengan, dan tentunya masih memakai rok pendek.
Di SMA kelas 1 inilah aku juga mengenal yang namanya mentoring. Jujur, saat SMA inilah aku baru mengerti lebih jauh tentang Islam. Ketertarikanku juga seperti gayung bersambut karena mendapatkan teman-teman dekat yang sudah berjilbab sejak SD. Aku pun baru sadar bila perintah berjilbab itu wajib dan banyak ayat di Al-Qur’an yang membicarakanya.
Juli 2008.
Saat itu aku menjadi panitia penyambutan murid baru di sekolah. Seingatku, pada hari kedua atau ketiga, Fira, teman baikku yang berjilbab tadi akan membeli seragam baru untuk kenaikan kelas. Fira dan ibunya mengajakku turut serta ke pasar Blauran. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk ikut ke sana. Entah mengapa, aku pun ingin membeli pakaian seragam untuk berjilbab nanti. Fira dan ibunya pun mendukung keinginanku. Namun, karena aku tak membawa cukup uang, ibunya pun meminjamiku uang. Aku pun membeli rok abu-abu panjang. Kesimpulannya, aku berhutang.
Sesampainya di rumah, aku curhat pada mama, perihal aku membeli rok abu-abu panjang, hingga berhutang. Aku berkata pada mama bahwa ingin berjilbab dalam waktu dekat. Namun, mama belum merestui. Beliau berkata, “Nanti saja lah, kalau sudah kuliah.” Walaupun demikian, karena aku memaksa, mama tetap membelikanku seragam lengan panjang.
Tak berapa lama setelah itu, aku mengajak temanku tadi untuk membeli jilbab bersama. Aku pun mendapatkan jilbab praktis alias slobokan berwarma putih dan coklat.
Sebenarnya itu bukan jilbab pertamaku. Aku punya banyak jilbab di rumah. Entahlah dari mana mama mendapatkannya. Namun, jilbabnya kekecilan, kurang menutup dada, warnanya mencolok, terlalu banyak ornamen, dan lain-lain. Aku tidak suka dan tidak mau memakainya.
Sejak aku membeli jilbab coklat dan putih itu, setiap keluar rumah, aku hampir selalu mengenakan jilbab, kecuali untuk sekolah. Pada awalnya memang panas dan gerah. Namun aku merasa terlidungi!
Kemudian aku pun berani mengenakan jilbab ke tempat les bahasa Inggrisku. Kadang memakai jilbab, kadang juga tidak. Aku pun tertegun ketika menerimasms dari guru bahasa Inggrisku agar istiqamah memakai jilbab. Keinginanku semakin menggebu.
Aku pun mengutarakan niat berjilbabku ke teman-teman sepermainan. Mereka sangat mendukung niatku. Gayung bersambut, mereka meminjamiku buku-buku dan sering menceramahiku. Namun, aku juga bercerita ke mereka kalau orangtuaku tidak setuju tentang keputusanku.
Suatu hari, Fira meminjami buku tentang jilbab. Judul bukunya cukup menohok. Aku pun tergoda membacanya. Saat itu bulan Ramadhan. Buku itu selalu kubawa saat Shalat Tarawih. Sehabis dzikir shalat Isya’, aku membaca buku tersebut dengan segera. Bukunya tipis, sampul depannya bergambar bunga matahari. Mamaku mengamati gerak-gerikku saat membaca buku tersebut.
Buku itulah yang membuatku merasa tertampar berulang kali. Aku hanya terganjal satu hal, ya, RESTU ORANG TUA.
Sampai akhirnya, pada suatu hari di bulan puasa, aku membeli buku berjudul Jilbab Pertamaku, karangan Asma Nadia dan penulis-penulis lainnya. Setelah kutamatkan buku itu, aku menangis, ingin rasanya senekat para penulis di buku itu dalam merealisasikan keinginan berjilbabnya. Kemudian kuambil sebuah kertas A4, dan kutulis sepucuk surat permohonan untuk papaku, agar beliau mengizinkanku berjilbab.
Aku memasukkan sehelai kertas tersebut ke amplop coklat bekas. Kuselipkan juga di dalamnya buku kecil bersampul bunga matahari itu. Paket surat tersebut kuletakkan di kamar orangtuaku dan berdoa agar papaku segera membacanya sepulang kerja.
Kutunggu hari demi hari, hasilnya nihil. Setiap kuajak papa berbicara tentang jilbab, jawaban papa selalu tidak enak. Aku pun berusaha sabar dan tidak emosi. Bagaimanapun, beliau tetap orangtua yang harus dihormati.
Saat Idul Fitri, aku melakukan sungkem kepada papaku, “Pa, aku tidak mengharapkan hadiah apapun untuk ulang tahunku asalkan diizinkan memakai jilbab.” Namun, papaku tampaknya tidak merespon.
Tak lama setelah itu, tepat malam hari tanggal 8 Oktober 2008, aku dan papa beradu mulut di kamarnya. Akhirnya, bagaimanapun juga aku kalah. Aku tetap ngotot ingin berjilbab dan akhirnya kami tidak menemukan titik temu. Alhasil aku menangis sekeras-kerasnya dan mengadu pada mama.
Papaku marah dan tidak mau berbicara denganku sampai pagi. Aku mencoba berkata ke mama agar beliau merayu papa. Namun, mama berkata, "Sudah, turuti perintah papa saja." Aku tetap tidak bisa menerima.
Pagi harinya, tanggal 9 Oktober 2008, dengan mengucap basmalah, aku berniat untuk mengenakan jilbab secara permanen mulai hari itu. Mama pun belum tahu jika aku ingin berangkat sekolah dengan pakaian serba panjang itu. Mama hanya terkejut namun sepertinya beliau pasrah. Mama menyarankanku agar membangunkan papa yang masih tidur dan meminta restunya.
Papa masih tidur di lantai dua. Namun mobil antarjemputku telah datang ke rumah. Lalu aku segera membangunkan beliau. Aku pun segera berkata kalau aku berangkat ke sekolah dengan berjilbab. Papaku tak memalingkan muka ke arahku. Aku pun meminta restu dan pamit "Assalamu’alaikum,". Kucium punggung papa dan turun tangga, pamit kepada mama, lalu naik ke mobil antarjemput untuk berangkat sekolah.
Aku selalu pulang sekolah naik angkutan umum. Biasanya, kalau aku sudah turun di portal dekat rumah. Banyak lelaki, tukang becak, tukang bangunan yang menggoda bila aku lewat di depan mereka. “Cewek…”, kemudian bersiul-siul. Sungguh tak enak didengar. Namun, semenjak aku berjilbab hari itu, mereka resmi menyapaku, "Assalamu’alaikum". Alhamdulillah…
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula diriku. Aku sadar, jilbab yang kupakai ini memang belum sepenuhnya mematuhi syarat-syarat jilbab syar’i. Aku masih sering memakai celana panjang, baju yang masih kelihatan pergelangan tangannya, baju yang sedikit membentuk lekuk tubuh, jilbab yang agak terawang kainnya. Namun insyaAllah jilbab sudah menutup dada. Aku berusaha memperbaiki jilbabku.
Alhamdulillah, sahabatku, Atik, langsung berjilbab dalam jarak dua bulan setelah aku berjilbab. Anggota keluarganya juga perlahan mengikuti langkah si Atik. Teman sepermainanku juga, Maya, segera berjilbab setahun kemudian. Hebatnya, ayahnya beragama Hindu. Kemudian kakak dan ibunya pun turut berjilbab. Alhamdulillah. Kini giliran aku yang masih terus berusaha dan berdoa, semoga mamaku segera menjemput hidayah oleh Allah SWT agar mengenakan jilbab. Aamiin.
Papaku tidak pernah membahas lagi. Sampai hari ini aku pun tidak tahu apakah papaku sudah merestui keputusanku berjilbab atau belum. Namun, satu yang kupikirkan, jika kelakuanku semakin baik setelah berjilbab, tentu restu itu akan datang dengan sendirinya, tanpa perlu diucapkan. Hubunganku dengan orangtuaku pun membaik tak berapa lama setelah insiden perlawananku berangkat ke sekolah dengan berjilbab itu. Akhirnya, di hari ulangtahunku, November 2009, aku sudah berjilbab. Hal itu menjadi kado ulangtahun terbesarku.
Beberapa tips bagi yang ingin berjilbab tapi belum mantap:
~Jangan takut dan ragu untuk melangkah, bila Anda sudah punya niat baik, itu sudah dicatat oleh Malaikat. Maka ketika ada keinginan untuk berjilbab, lakukanlah segera, walaupun banyak kontra dari orang-orang sekitar. Orang-orang sekitar yang mungkin tidak setuju atau mengolok Anda nantinya di akhirat tidak akan mengurus amal Anda. Amal kita untuk diri kita sendiri. Memang pada awalnya ada halangan dan rintangan yang membuat kita ragu, tapi sesungguhnya itu hanyalah godaan syaithan. Syaithan selalu ingin mengajak keturunan nabi Adam (alias kita-kita ini) untuk melanggar perintah Allah. Jangan mau ya, digoda setan.. hiii.
~Bila sudah ingin berjilbab tetapi belum mantap, bisa sering-sering browsing atau baca buku Islam tentang jilbab. Akhirnya timbullah keinginan untuk berjilbab. Sering-sering latihan kalau keluar rumah pakai jilbab.
~Datangi majelis atau forum yang membahas tentang keislaman. Insya Allah akan semakin terdorong untuk mendalami agama.
~Belilah jilbab yang warnanya netral dulu, misal: putih, hitam, coklat, abu-abu, supaya pas dipadupadankan dengan baju segala warna.
~Bila sudah mantap untuk berjilbab, ucapkanlah Bismillahirrahmanirrahim dan niatlah sekuat hati dan berdoa agar istiqamah.
Dengan memakai jilbab, kita jadi termotivasi untuk terus memperbaiki akhlaq kita dan memperdalam agama kita.
~Buat yang masih ragu berjilbab karena saat mencoba, wajah terlihat tak menyenangkan, misalnya lebih bulat, lebih tirus, dan lain-lain, aku sarankan untuk mencari model jilbab yang cocok. Ada orang yang tampak cocok dengan jilbab model slobokan atau instan, ada yang lebih cocok memakai jilbab model kain segiempat. Itu semua bergantung dari bentuk wajah dan keinginan. Ayo mencoba model dan bentuk kerudung yang lain!
~Jilbab itu bikin kita mudah dikenali sebagai muslimah lho! Bangga kan diakui jadi muslimah?
~Buat para muslimah yang sudah menikah, segeralah berjilbab, karena suami Anda pasti tidak ingin aurat Anda dilihat orang lain yang bukan muhrim. Ya, kan?
~Jika kain jilbab terasa panas dan membuat gerah, bayangkan saja betapa panasnya api neraka menggerogoti bila kita tidak berjilbab di dunia.
~Terus memperbaiki akhlak selagi berjilbab
Cukup sekian dariku. Semoga bisa menginspirasi dan bermanfaat. Semoga kita bisa istiqamah dan selalu dalam lindunganNya. Aamiin.
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakaatuh.
Ditulis oleh Adiar Ersti Mardisiwi
Wednesday, 29 Sya'ban 1433
#nuhassilu biha birridho..#
Tiada ulasan:
Catat Ulasan